Dengan metafora, sebagai ciri lazimnya puisi, pengalaman akan kebenaran seseorang setelah berdekat-dekat dengan Tuhan, memberikan pencerahan sekaligus bagi pembacanya bila hal itu diungkapkan lewat keindahan bahasa. Pengalaman menangkap suasana batin seorang penyair, bisa jadi jalan bagi orang lain untuk turut merasakan keindahan seseorang dalam mengungkapkan kerinduanya kepada alam kebadian, transendental. Sebuah kerinduan yang dihadirkan para pencari kebenaran, sebagai ikhtiar mendekatkan diri seseorang pada Tuhan, akan memperoleh pemaknaan yang hakiki dalam puisi-puisi sufistik.
Untuk mengantarkan pengertian pada sebuah puisi, rasanya perlu kita renungkan renungan penyair Rusia, Anna Akhmatova (1989-1966), dalam �Sajak-sajak Tentang Puisi� ditulis pada 1944. Sang penyair, seolah mencoba-jelaskan tentang sesuatu yang ingin disampaikan, juga tentang eksistensi dirinya, yang bisa dipahami lewat terjemahan V.Sikorsky:
Pertukangan kami yang suci-murni
Abad-berabad hidup berseri
Menerangi jagad tanpa matari.
Namun
Belum ada pujang sehingga ini
Yang sempat bersabda cukup berani,
Bahawa ketuaan � tak ada,
Arif-bijaksananya � tak ada,
Dan mati pun rupanya � tak ada
Di bumi!
Dalam penelitian Idries Shah disebutkan bahwa Sufisme sering disebut �agama cinta�. Tanpa melihat penampilan lahiriah madzhab-madzhab mereka, para Sufi telah menjadikan tema ini sebagai persoalan esensial. �Analogi cinta manusia sebagai refleksi dari kebenaran sejati, begitu sering dinyatakan dalam puisi Sufi dan seringkali ditafsirkan secara harfiah oleh orang-orang non-Sufi�. Idries Shah dalam Mahkota Sufi seraya mengutip kata-kata Rumi, �Di mana pun engkau berada, apa pun kondisimu, berusahalah menjadi pecinta,� ia tidak berbicara cinta sebagai suatu tujuan dalam dirinya sendiri, juga tidak berbicara cinta manusia sebagai kemungkinan terakhir dari potensi manusia.
Idries Shah menunjukkan betapa kemerosotan (makna) cinta ideal Sufi di Barat tampak berkembang luas setelah hilangnya pemahaman linguistik tentang pengelompokan-pengelompokan kata yang dipakai oleh para guru Sufi untuk menyampaikan kenyataan bahwa idea mereka tentang cinta adalah jauh lebih mendalam dari sekadar fantasi yang dangkal. �Karena menyebar dari Spanyol dan Prancis Selatan ke Eropa Barat dan mengalami suatu perubahan bahasa yang telah menghilangkan kandungan maknanya yang efektif, ajaran tentang cinta telah kehilangan karakteristik esensialnya. Untuk menangkap kembali sifat komprehensif dari tema khas Sufi ini bagi pembaca Barat, kita harus melihat perkembangan para troubador�. Sebuah aspek puisi cinta yang muncul di Spanyol Islam, yaitu aspek tentang pengagungan kewanitaan, dengan cepat dialihkan oleh Gereja ke dalam idealisasi Perawan Maria sebagaimana telah dicatat para sejarawan.
Muhammad Zuhri, seorang pejalan sunyi yang dilahirkan di Pati, pernah mengungkapkan pengalaman rohaninya dalam larik-larik puisi. Ia menghadirkan makna cinta akan keharuman pengalamannya, mendalami dimensi paling hakiki dalam ajaran Islam. Ungkapan pengalaman yang demikian, memberikan gambaran betapa kehidupan di alam fana ini akan berakhir dan kehidupan akan lebih berarti bila dimaknai dengan cinta. Inilah larik-larik puisi Muhammad Zuhri, termaktup dalam bukunya Kasidah Cinta:
GUBUK CINTAKU
Datanglah kemari, o kekasih yang semua
Di ambang gubuk cintaku mungil ternganga
Keranda bagi tubuh-tubuh yang tersia
Usah bicara tentang Tuhan, ketinggian dan kesucian
Reguk madu gunung kupunya untukmu
Atau terima cambuk merahku menyala
Biar melesat sukmamu membelah langit
Esok turun bagai embun paling dini
Menyiram lembah retak kemarau kini
Ditingkah tangis-syukur malaikat bidadari.
Semakin jelas bagi kita bahwa sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan oleh setiap kreator sehubungan dengan karyanya, seperti diyakini Muhammad Zuhri, adalah berhasil-tidaknya karya tersebut mengungkapkan kebenaran. Dapatkah hasil karya mereka mengilhami manusia untuk hidup lebih kualifait, damai, utuh, dan lestari? Atau bahkan mereka mengacu kepada pemburuan terhadap hal-hal yang sementara, tak peduli pada nilai-nilai kemanusiaan, dan individualistis�. Bumi kita ini telah menjadi ajang perebutan kekuasaan, peperangan, dan kekacau-balauan yang sulit dimengerti, karena penghuninya tak lagi berorientasi terhadap kebenaran. Kalaupun ada yang masih tersisa dari penganut kebenaran, mereka hanya bermata sebelah �atau menganggap sepele urusan yang berkait-erat dengan kebenaran.
Pengalaman rohani seseorang menjadi pelajaran bagi kehidupan pelakunya, juga bagi orang lain, bila disampaikan dengan pernyataan yang mempertimbangkan nilai-nilai artistik dan estetika. Kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkap perasaan tentang pengalaman religius dan bahasa yang indah, seringkali muncul lewat kehadiran puisi sufistik. Ia sekaligus menyimpan dalaman makna dan keindahan bahasa. Sekaligus dengan cara demikian, merupakan sikap untuk menyanggah mereka yang kerap mendewa-dewakan akal dan indera dalam menentukan kebenaran.
Bagi kelompok yang mengagung-agungkan akal, kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui. Kaum sufi mengajarkan, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.
Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan, menurut penyair sufi Jalaluddin Rumi, �adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu�tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya�.
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. �Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?� []
Label: Kolam Syair, Renungan