Inspirasi Kami


Terletak di pinggiran timur Islam, pulau Jawa Indonesia telah lama dikenal mempunyai praktik agama versi paling liberal di manapun di muka bumi.

Klik Play untuk mendengarkan musik gamelan Jawa selama Anda membuka halaman ini.

Tradisi-tradisi religiusnya bukanlah sebuah kebetulan, melainkan lingkungan-lingkungan historis yang tepat, yang menawarkan pelajaran-pelajaran sangat berharga bagi kita dalam perjuangan melawan ekstremisme dan teror religius dewasa ini.

Abad keenam merupakan masa perubahan dan pertumpahan darah yang luar biasa di pulau Jawa, saat negara-kota Muslim yang baru di pesisir utara menghancurkan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha setempat, dan memperluas kekuasaannya ke pedalaman pulau tersebut.

Meraih kemenangan, para pengikut fanatik agama baru ini—beberapa darinya keturunan Arab atau Cina—menyebarkan teror saat mereka berusaha memusnahkan warisan kultur kuno pulau itu atas nama Satu Tuhan, Allah.

Penentang mereka adalah pribumi Jawa aslikini dipimpin oleh para wali Jawa dan tokoh politik, seperti Sunan Kalijogo (kiri)—yang berusaha mempertahankan dan mencari landasan bersama antaragama, berdasarkan prinsip toleransi dan mistisisme.

Hampir selama seratus tahun, kekuatan-kekuatan yang berlawanan berjuang demi jiwa Jawa—dan, akhirnya, demi jiwa Islam—dalam suatu perang yang keterlibatan-keterlibatan esensialnya yang sangat penting terjadi tidak hanya di medan tempur, melainkan dalam hati dan pikiran pribadi-pribadi yang tak terhitung yang tersebar di berbagai landscape Jawa yang indah, tropis.

Pada akhirnya, sebuah dinasti baru bangkit, yang menegakkan toleransi religius sebagai aturan hukum, dan menjamin kebebasan berkesadaran bagi semua warga Jawa. Pendiri dinasti itu adalah seorang Sufi Muslim Jawa dan pengikut Sunan Kalijogo bernama Senopati ing Alogo (kanan). Dasar kemenangan ini adalah seruan populer pesan kebebasan, keadilan, dan spiritualitas Senopati yang luar biasa, yang bertentangan dengan fanatisme dan tirani para lawan politiknya.

Dewasa ini, lebih dari empat abad kemudian, warisan Kalijogo dan Senopati tetap abadi, dalam bentuk kultur toleran dan pluralistik Jawa yang khas. Para keturunan ideologis mereka terus menolak arus ekstremisme religius yang sekarang didanai oleh negara-negara petrodolar Teluk dan elit-elit lokal yang kuat, yang menggunakan Islam radikal untuk keuntungan pribadinya, atau menyerang dan menundukkan proses reformasi dalam masyarakat Indonesian.

Para pemimpin kontemporer—seperti mislanya cicit Senopati, Sri Sultan Hamengkubuono X; Kyai Haji Abdurrahman Wahid, mantan presiden Indonesia; Amin Abdullah, rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga; dan bintang rock Ahmad Dhani—tidaklah sendirian dalam usaha-usaha mereka, tapi didukung oleh puluhan juta rakyat Indonesia, yang ingin melestarikan kutlur mereka yang tercerahkan yang menyambut toleransi dan keragaman religius.

Dengan menerapkan pelajaran perjuangan historis Jawa, kita bisa membantu mereduksi ekstremisme religius dan mendiskreditkan penggunaan teror di seluruh dunia. Itu berarti mempromosikan tujuan kebebasan, toleransi, dan keadilan di negara-negara Muslim lain, dan mendorong spiritualitas batin yang sebenarnya sebagai sebuah antiracun pada fanatisme religius. Ajakan gagasan-gagasan ini jelas, dengan seruan demi reformasi politik yang sekarang menggema di seluruh Timur Tengah. Gagasan-gagasan itu juga esensial untuk melawan tumbuhnya partai-partai fundamentalis garis keras yang berusaha mengeksploitasi perasaan putus asa yang disebabkan oleh kekacauan ekonomi dan politik yang panjang, dan munculnya proses reformasi demokratis, untuk menguasai masyarakat terkait—sangat mirip dengan Hitler yang dengan pintar naik ke tampuk kekuasaan dengan mengeksploitasi penderitaan dan kesedihan rakyat Jerman dalam sebuah Jerman Weimar demokratik yang baru.

Rakyat Lebanon berdemonstrasi menuntut kebebasan dan demokrasi di jalan-jalan Beirut.