hati yang galau jangan biarkan terus menjadi musim dingin yang menghembuskan angin ganjil. menyerak kebisuan bening air mata dan mengering lembah jiwa yang teduh dari kelembutan suara denting piano yang kau mainkan. pintalah segala kepada Tuhan atas doa yang telah mengembara; memanjati tiang-tiang langit dan mencapai rimbun jawaban kepada serumpun ucap yang terkabulkan.
di negeri asing ini, kita pernah terbata membaca aksara, terbata mengucap kalimat mutiara. bukan berarti kita terkalahkan oleh ruang dan keramaian manusia. namun kita mesti belajar membaca bahasa. kita tidak hidup di bumi untuk menyendiri dan menafsir kematian: bagaimana 'kan datang mengganti kemudian.
kita mengada dalam hening kedamaian. dimana kita berpijak, bumi Tuhan selalu ramai oleh hiruk-pikuk dan langkah yang gontai. lalu kita dipaksa bangkit kepada daratan keberadaan hidup. dipaksa memandang jauh kepada masa yang akan datang.
ini bukanlah mimpi yang Tuhan berikan untuk kita, sayang. walau kenyataannya sering kali pahit untuk kita terima. kita dituntut untuk bersabar menghadapi hidup dan kehidupan. untuk menyempurna keabadian, yang fana untuk kita banggakan.
mungkin sajak ini akan terus mengalir atas nama kita. warisan buat kanak-kanak yang kita lahirkan. sebagai kisah masa lampau dan awal dari sajak-sajak yang lain dalam kehidupan, yang hampir kita lunaskan.
kita adalah debu di musim kemarau. kita adalah buih yang selalu terhempas. kita adalah hewan yang kehilangan induk. mesti berdiri sendiri dan mencari sesuatu di rimba kehidupan ini. apakah kita layak untuk senantiasa hidup atau tersingkirkan. apakah layak untuk senantiasa berkuasa atau mati dengan sia-sia.
Label: Mukadimah