( I )
Duhai, Penyair, sudah berapa banyak kata yang kautuliskan? Sudah berapa banyak puisi yang kauhasilkan? Apakah hari akan setia menemanimu dengan kata yang kaupetik dari lelangit aksara? Aku menunggu kauserahkan puisi terakhirmu untuk kubacakan di muka para pendengar.
Panggung ini sepi dari para pengunjung sejak kau tinggalkan kursi dan kertas kerja berserakan. Pena ini tak akan kehabisan tinta; lalu apalagi yang kau khawatirkan? Kemarilah, temani aku di sini membaca puisipuisi yang kaugubah.
Sering kunyanyikan lagu dari baitbait puisimu. Pemain kecapi dan seruling telah biasa memadukannya. Kini, apalagi yang kau risaukan? Apakah kau tak lagi dapat menulis, karena jemari telah lemah dan tubuh sudah renta? Puisipuisimu tak akan pernah berhenti mengalir, walau kau hanya sanggup gerakkan mata sebagai tanda.
( II )
Musim semi telah tiba. Bungabunga berubah warna. Daun dan ranting berguguran. Angin mengantar berita dari daerah yang paling jauh. Kemudian, berhenti di depan sosok perempuan berwajah lembut. Ia serahkan surat berisi cerita dari negeri asing. Kabar tentang lelaki merindu senja.
Apakah yang telah membuat gelisah hati perempuan itu? Rasa rindu ingin bertemu? Ataukah nyeri karena perpisahan? Angin masih terdiam menanti jawaban perempuan.
Duhai, Penyair, mengapa kauhentikan goresan demi goresan pena yang biasa menari lincah di atas kertas kerjamu? Bukankah baitbait ini begitu indah? Bahkan mawar pun bersedia menggadaikan wanginya demi mendengarkan baitbait puisi cintamu? Mengapa tak kau lanjutkan kisah cinta dalam setiap puisimu? Apakah nasib memaksamu berhenti dan membuat ingatanmu letih?
Pada akhir surat terselip tandatangan kematian kata; dan Penyair tak lagi bercerita.