PENAMPAKAN

Dari sejumlah contoh di atas, tampak betapa energi yang kita sebut sebagai cinta hadir dalam berbagai bentuk. Cinta pada contoh pertama menyeret seseorang pada krisis eksistensial. Keterpusatan makna dari cinta yang lahir sendiri tanpa keterlibatan obyek cinta telah mengubah realitas objektif atau kenyataan menjadi hampir sepenuhnya subjektif. Ia sulit dan bahkan tidak bisa menerima kenyataan dari cintanya yang tertolak. Penolakan itu justru memperdalam perasaan cintanya. Ia membangun dan menciptakan orang yang dia cintai terus-menerus dan dalam keguncangan psikologis. Sehingga, pikiran, perasaan, dan dinamika di dalam cinta kemudian berkembang melampaui keberadaan dirinya. Di sini, apa yang dianggap oleh banyak orang sebagai kekeliruan, kebodohan, dan kelemahan, justru dirasakan sebagai suatu kebenaran yang nyata dan tak terbantahkan. Sepuluh, dua puluh, atau bahkan seratus orang bisa saja mengatakan bahwa dia disesatkan oleh pikiran dan perasaannya sendiri, namun ia akan tetap berada dalam kesulitan untuk menyelamatkan diri dari cinta yang setiap saat menggerogoti jiwanya. Bisa jadi, ini adalah penyerapan terdalam dari kedalaman perempuan, yang barangkali tak tersingkapkan, kecuali olehnya, atau keagungan dalam diri perempuan, yang bahkan tidak disadari oleh dirinya sendiri.



Pada contoh kedua kita melihat, dimana secara diam-diam dan tanpa sadar terjadi perubahan pikiran dan perasaan dalam diri seseorang. Dari dorongan yang semata-mata seksual menjadi interaksi yang melibatkan beragam dimensi psikologis. Ada hasrat seksual, kesadaran, terbangkitkannya moralitas, rasa kasihan, dan rasa tanggung jawab. Pada kasus ini, meskipun seseorang kesulitan menerima kenyataan psikologisnya, namun ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa sebenarnya ia mulai mencintai seseorang yang sebelumnya tidak lebih dipandang sebagai partner seksual, dan hal itu membuatnya takut, khawatir, cemas, dan tidak lagi melihat hasrat seksual sebagai kebanggaan. Ia tidak percaya dengan cintanya sendiri, di saat dia mulai mencintai, karena memang sedari awal ia tidak hendak memupuk kepercayaan terhadap cinta, kecuali cinta itu memberikan kepuasan seksual baginya. Tapi kali ini, ia mendapati perasaan cinta yang hendak menyelamatkan nilai seseorang dan dirinya sendiri.



Pada kasus ketiga, si gadis sudah terlanjur menempatkan orang yang dia cintai sebagai satu-satunya makna yang tak tergantikan oleh apa pun. Suatu alasan tunggal, yang karenanya hidup layak untuk dilanjutkan. Ia telah menjadi orang lain, menjadi orang yang dia cintai, sementara orang yang dia cintai tidak bisa menjadi dirinya lagi, akibatnya ia terpisah dari dirinya sendiri. Kemudian pada kasus keempat mungkin kita akan bertanya, ada apa sebenarnya di kedalaman diri seorang Mileva sehingga ilmuan besar bernama Einstein perlu menyebutnya sebagai "tempat suci", meski keduanya telah bercerai. Ada banyak kemungkinan, di antaranya, secara riil keduanya barangkali tidak lagi menemukan kecocokan, dan karenanya hubungan keduanya dalam kehidupan nyata akan banyak diwarnai benturan-benturan yang banyak menyesakkan. Namun, cinta melampaui dan lebih dalam dari pikiran, perasaan, sikap, perbuatan, konflik, dan sejumlah perbedaan, sehingga ruang cinta, ruang keagungan, dan ruang kesucian dalam diri Einstein akan tetap diisi oleh kehadiran dan keabadian sosok Mileva. Keduanya barang kali harus mencintai dan membangun cinta dengan cara dan jalan yang lain. Betapa pun, suatu perpisahan tidak selalu menjadi suatu tanda berakhirnya cinta, bahkan dalam kasus ini perpisahan menjadi bagian dari cinta dan mencintai itu sendiri.



Lebih mengejutkan lagi kehadiran cinta pada diri Ibn al-Arabi dan Dante Alighieri. Ini bukanlah cinta biasa. Wujud dari kehadiran perempuan tidak lagi menjadi keindahan atau keagungan yang menarik jiwa untuk menari dalam ekstase fisikal, tapi menjadi stimulus yang menghentakkan ruh, diri, hati, dan jiwa untuk menatap kehadiran Tuhan. Apa yang dikatakan Ibn al-Arabi mengenai peristiwa itu, jauh menembus lintas batas tempat, ruang, waktu, dan kesadaran. Di sini perlu saya garisbawahi agar tidak disalahpahami, bahwa sependapat atau tidak dengan konsep atau pengalaman yang dikemukakan Ibn al-Arabi dan Dante Alighieri tidaklah terlalu penting, karena demikianlah isi pengalaman batiniah yang menyusup di kedalaman diri seseorang. Suatu konsep pikiran dan perasaan yang agaknya tidak hanya sekadar muncul atas dasar pengalaman, akan tetapi juga tumbuh dari apa yan telah dikatakan Allah: " Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi dan Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan semesta dan makhluk-makhluk agar Aku dikenal oleh mereka". Dan di waktu yang lain Allah juga berfirman : " Kemanapun engkau palingkan wajahmu kau akan menemukan wajah-Ku. " Nizam adalah epifani dari wajah Allah yang indah indah bagi Ibn al-Arabi hingga dia merasa begitu perlu untuk mengatakan, bahwa kalau engkau mencintai suatu wujud karena keindahannya, engkau tidak lain mencintai Allah, karena Dia adalah satu-satunya Wujud yang Indah. Dengan demikian, kata al-Arabi , semua aspek dari objek cinta hanyalah Tuhan. Kita, lanjut al-Arabi, tidak bisa melihat Tuhan itu sendiri, namun kita bisa melihatnya ketika Dia memilih mewahyukan Diri melalui makhluk-makhlukNya, seperti gadis Nizam, yang mengilhami rasa cinta di hati Ibn al-Arabi. " Nizam, katanya, "telah menjadi objek pencarianku dan harapanku, perawan yang paling murni: banyak hal dari alam batin yang lebih mempesonaku daripada segala yang ada di dalam kehidupan aktual dan karena gadis belia ini aku mengetahui persis apa yang kumaksudkan. Imajinasi kreatif telah mengubah gadis Nizam menjadi avatar Tuhan.



Apakah keindahan akan selalu membawa pada kebesaran dan kehadiran Tuhan, adalah pertanyaan yang harus dikembalikan pada bagaimana kita melihat keindahan dan dengan apa kita melihatnya. Setiap kita memiliki penglihatan, pendengaran, dan hati, tetapi tidak setiap kita menyadari kualitasnya, dan bahwa penglihatan, pendengaran, dan hati akan dimintai pertanggungjawaban. Dan demikianlah, penjelasan sementara dan sederhana dari sejumlah contoh di atas, yang sudah barang tentu tidaklah sesederhana itu. Yang ingin saya katakan dengan menyuguhkan sejumlah contoh di atas adalah bahwa atas nama, demi, dan oleh cinta, seseorang akan hadir dalam keberagaman pengalaman, dari perilaku unik yang masih dikendalikan kesadaran hingga kegilaan yang terus membangun dirinya sendiri. Dari pemujaan akan seks sampai penangkapan kesucian dan kesadaran. Dan dari kehadiran objektif, spiritual pribadi, yang berpusat pada manusia, sampai pada penghayatan konsepsi imajinatif sufistik tentang Tuhan yang personal. Kalau demikian, lantas apa sebenarnya yang di maksud dengan cinta?