SEPATAH KATA

Malam belum mencapai puncak. Seperti biasa, sebelum tidur kusempatkan diri untuk merenung sejenak di atas bentangan sajadah panjang. Bukan untuk meminta sesuatu yang berharga dalam hidup, tetapi sekedar ingin berbincang dengan-Nya, tentang banyak hal yang membuat manusia merasa tidak memiliki satu alasan pun untuk untuk tidak bersyukur. Terlebih lagi tentang gurauan-gurauan-Nya yang dasyat, yang seharusnya membuat orang semakin dekat dengan-Nya, dan bukan sebalik: menuduh-Nya dengan pikiran dan perasaan yang bukan-bukan.


Tidak jauh beda dengan manusia, apa yang disebut sebagai Allah pun acap kali menjadi objek bagi kekecewaan dan kegagalan kita dalam memahami hidup, terutama sekali dalam memahami diri kita sendiri. Beberapa saat kemudian, dua kali ketukan pintu dan suar batuk terdengar. Pintu kubuka, dan si pengetuk pintu telah berdiri tepat di depanku. Seperti hari-hari kemaren, tidak ada yang penting bagi tamuku yang satu ini, selain membicarakan perihal perasaan cintanya. Cinta, yang katanya sangat mendalam, sayang yang katanya tidak terukur, dan kenyataan yang katanya melompat jauh dari harapan. Cinta yang tertolak! Dia tidak pernah tahu kapan derita cintanya akan berakhir, sementara disaat yang sama cintanya semakin dalam dan benar-benar tak tertahankan. "Aku mencintainya, dan hanya dialah yang bisa mengatasi semua ini," katanya dengan suara tersekat di tenggorokan. Untuk kesekian kalinya, aku tidak punya pilihan yang lebih baik, selain mendengarkan penuturannya, sampai tidak ada lagi yang bisa dikatakan. "Siapapun yang merasakan apa yang aku rasakan, pasti akan mengalami hal yang salam sepertiku." Beberapa hari kemudian ia jatuh sakit. Ketika kuceritakan perihal sakitnya itu kepada orang yang dicintainya, dengan harapan bersedia menjenguknya, ia malah berkata: "Aku tidak akan menjenguk orang sakit yang dibuatnya sendiri" Aku terdiam. Bagaimana bisa, pembunuhan diam-diam tengah berlangsung, dan justru "dilakukan" oleh orang yang diagungkannya melebihi dewi-dewi di kahyangan.



Han telah mampu menikmati tubuh kekasihnya melebihi apa yang diimajinasikannya. Pada awalnya, Han hanya ingin menempatkan kekasihnya itu sebagai pengisi waktu luang yang dapat di desain seerotis mungkin. Namun, belakangan, setiap kali ia menikmati tubuhnya, Han tiba-tiba merasa kasihan, berdosa, dan mengutuki diri sendiri sebagai laki-laki yang jahat. Han bilang, bahwa perempuan itu terlalu baik kalau hanya untuk diperlakukan semacam itu. "Kali ini akulah yang kalah," katanya. Cinta telah mengalihkan pikiran dan perasaanku dari tujuan semula: yakni hanya sekedar menikmati tubuhnya.



Rumah sakit jiwa. Seorang gadis berwajah manis dengan jilbab yang menjulur menutupi pundaknya, terlihat histeris dalam kerangkeng. Ia berteriak dan memanggil-manggil dengan suara penuh harap sekelompok perawat pria dan beberapa pengunjung rumah sakit akan menghampirinya. Di antara jendelan kaca yang pecah berserakan, nasi, bungkusan-bungkusan plastik, dan onggokan baju, ia tertawa, menangis, dan sesekali mengalir deras dari bibirnya ayat-ayat suci dan lagu-lagu religius. Menyedihkan! Gadis manis ini tidak lagi melihat cinta dan kesetiaan pada diri orang yang dia cintai. Ia telah ditinggalkan begitu saja. Cinta telah membuatnya menjadi gadis petualang paling liar yang lupa dengan dirinya sendiri: hidup dalam dunia asing yang tak terpahami, kecuali oleh kegilaannya. Cinta, adalah salah satu sebab yang memaksanya harus mendekam dalam kerangkeng kegilaan.

Mileva adalah penganut Gereja Ortodoks Yunani yang saleh. Konon, keberagamaan Einstein tidak hanya diperoleh dari pendidikannya di masa kecil, tetapi juga dari perkawinannya dengan Mileva, temannya dalam kelas fisika, Ketika mereka terpaksa bercerai, Einstein memanggil mantan istrinya dengan sapaan mesra, "Engkau akan menjadi suci bagiku, yang tidak seorang pun bisa masuk ke situ." Ketika Einstein memenangkan hadiah Nobel (setelah enam kali diprotes oleh fisikawan yang rasis, berkat temuannya dalam efek fotoelektrik, bukan teori relativitas) ia mengirimkan hadiah uangnya kepada Mileva. 1)



Pada tahun 1201, ketika sedang melaksanakan Tawaf di Ka'bah, Ibn al-Arabi mengalami sebuah pengalaman yang meninggalkan pengaruh kuat dan lama terhadap dirinya, dia melihat perempuan muda bernama Nizam dikelilingi oleh cahaya dan ia menyadari bahwa perempuan yang bernama Nizam itu adalah Hikmat Ilahi. Epifani ini membuat al-Arabi sadar dan meyakini bahwa adalah mustahil baginya mencintai Tuhan jika hanya bersandar pada argumen-argumen rasional . Ia percaya bahwa imajinasi cerdik akan mampu menembus batas fisikal dan rasional sehingga seseorang bisa menangkap dan menyerap segala sesuatu sebagai bagian dari Keindahan Tuhan. Serupa dengan Ibn al-Arabi, sekitar delapan tahun kemudian, Dante Alighieri memperoleh pengalaman serupa di Florence ketika bertemu dengan Beatrice Portinari. Sontak, begitu dia menatap gadis Portinari itu, jiwanya bergetar kuat dan seakan-akan dia mendengar seruan dari dalam dirinya untuk mengagumi bentuk-bentuk kehadiran Tuhan:

Lihatlah Tuhan yang lebih kuat daripadaku yang datang untuk menaklukkan diriku.

Beatrice menjadi citra Ilahi.